Lompat ke isi utama

Berita

Penyelesaian Sengketa Proses dalam Mewujudkan Keadilan Pemilu

Penyelesaian Sengketa Proses dalam Mewujudkan Keadilan Pemilu

Bawaslu Provinsi DKI Jakarta disetiap minggunya mengadakan diskusi rutin yang disebut dengan Diskusi Rutin Ncang Waslu (Bincang Pengawas Pemilu). Meskipun dilakukan secara online dan tidak bertatapan, diskusi daring ini diharapkan tidak menjadi suatu hambatan dalam melakukan diskusi. Pada diskusi kali ini, Bawaslu Provinsi DKI Jakarta mengangkat suatu tema yang sangat menarik yaitu “Penyelesaian Sengketa Proses dalam Mewujudkan Keadilan Pemilu”. Dengan diadakannya kegiatan ini, diharapkan divisi penyelesaian sengketa dalam lembaga Bawaslu dapat menjadi lebih baik dan memberikan ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat.


Mungkin dari sahabat Bawaslu banyak yang bertanya-tanya, bagaimana penyelesaian sengketa proses dalam pemilu?
Anggota Bawaslu DKI Jakarta, Bpak Mahyudin dalam pemaparannya mengatakan bahwa, dalam proses perkembangan terhadap hukum atau administrasi sifatnya revolusioner, artinya dilakukan berdasarkan pada proses-proses yang secara paksa diupayakan untuk dibentuk karna jangan sampai seseorang bisa dibatasi oleh siapa pun. Kewenangan dalam penyelesaian sengketa proses pemilu ini merupakan kewenangan yang dianggap baru apalagi di tingkat Provinsi dan kemudian muncul di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Jika dikaitkan dengan proses yang terjadi dengan pengantar asas hukum dan lahirnya Peradilan Administrasi Negara atau PTUN adalah sebagai untuk menjaga jangan sampai perbuatan atau tindakan Pemerintah tidak ada alat ujinya, karena di dalam negara-negara yang meganut Eropa Kontinental itu hak asasinya juga dianut. Salah satunya, lahirnya teori oleh Montesquieu, yaitu lahirnya lembaga yudikatif sebagai untuk menjaga bagaimana hak-hak asasi manusia terjaga. Kalau tidak ada lembaga seperti ini maka semua orang tidak akan bisa menuntut atau mempertahankan haknya, dan karena itulah bahwa penyelesaian sengketa itu juga hadir.


Sistem keadilan pemilu telah dibangun dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Berdasarkan UU Pemilu, fungsi adjudikasi yang dimiliki Bawaslu dapat dilaksanakan untuk menerima, memeriksa, mempertimbangkan, dan memutus pelanggaran administrasi Pemilu, dan sengketa proses Pemilu. Fungsi Bawaslu sangat dibutuhkan sebagai lembaga Negara di bawah Undang-Undang yang bersifat tetap dan mempunyai kewenangan dalam mengawasi jalannya Pemilu, menindak pelanggaran dan menyelesaikan sengketa proses Pemilu.


Salah satu kewenangan yang diberikan UU Pemilu adalah penyelesaian sengketa proses yang diajukan oleh peserta pemilu sesuai dengan struktur tingkatan wilayah, sebagai akibat ditetapkannya Keputusan KPU yang dinilai merugikan hak konstitusional peserta pemilu. Ini berkaitan dengan eksistensi Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota, baik dalam hal kelembagaan dan kewenangan pasca penetapan UU Pemilu.


Sebagaimana dalam ketentuan Pasal 466 UU Pemilu menyebutkan bahwa, sengketa proses Pemilu sebagai sengketa yang terjadi antarpeserta pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota. Bawaslu menerima permohonan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu (PSPP) sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU. Dua dari ketentuan dalam Pasal 466 tersebut secara eksplisit menyebut bahwa potensi sengketa proses pemilu hanya 2 (dua), yaitu sengketa peserta pemilu antarpeserta pemilu, dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu, khususnya KPU. Pada ketentuan pasal ini tidak membuka peluang adanya mekanisme hukum sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu lainnya, seperti Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).


Jika penegakkan hukum Pemilu diartikan sebagai sarana untuk memulihkan prinsip dan aturan hukum Pemilu yang dilanggar sehingga dapat mewujudkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan Pemilu, maka sejatinya keadilan Pemilu berkaitan dengan proses penegakan hukum Pemilu.


Pada aspek penegakkan keadilan Pemilu, mekanisme penyelesaian sengketa proses pemilu yang diamanatkan UU Pemilu terdapat kombinasi penyelesaian sengketa yang bersifat alternatif dan korektif. Sifat alternatif penyelesaian sengketa proses pemilu tergambar melalui metode mediasi, yang mempertemukan para pihak yang bersengketa dengan difasilitasi Mediator dari Bawaslu. Sedangkan penyelesaian sengketa proses pemilu secara korektif tergambar melalui metode adjudikasi, yaitu Bawaslu menerima, memeriksa, dan memutus sengketa yang diajukan oleh pihak peserta Pemilu yang merasa dirugikan sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU.


Sebagai contoh Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu (PSPP) yang terjadi di DKI Jakarta adalah penyelesaian sengketa pemilu antara Politikus Partai Gerindra Mohamad Taufik dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jakarta, dimana Mohamad Taufik sempat divonis 18 bulan penjara pada 27 April 2004 karena merugikan uang Negara sebesar Rp 488 juta dalam kasus korupsi pengadaan barang dan alat peraga Pemilu 2004. Dalam kasus ini, Bawaslu DKI Jakarta telah memediasi para pihak namun KPU DKI Jakarta berpatokan pada Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang mantan terpidana narkoba, korupsi, dan kejahatan seksual terhadap anak mencalonkan sebagai anggota legislatif. Sementara, Mohamad Taufik berpendapat Peraturan KPU tersebut melanggar Undang-Undang sehingga ia tetap berhak mencalonkan diri pada Pemilihan Legislatif 2019. Sedangkan dalam UU Pemilu menyatakan bahwa, seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih, boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan pernah berstatus sebagai narapidana kepada publik. Hal ini menjadi polemik yang besar.


Dengan ditetapkan tidak lolos dalam Keputusan KPU sebagai bacaleg, karena dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS), bacaleg yang terganjal Peraturan KPU ini mengajukan permohonan penyelesaian sengketa ke Bawaslu DKI Jakarta. Proses penyelesaian sengketa tidak selesai dalam ruang musyawarah dan mediasi, hingga diputuskan dalam persidangan ajudikasi. Dan keputusannya adalah setelah putusan MA ditetapkan, 20 September 2018 KPU DKI Jakarta menetapkan bacaleg Gerindra atas nama Mohamad Taufik sebagai bacaleg DPRD. Hal ini karena Peraturan KPU yang menjadi landasan, sudah tidak berlaku. Polemik di atas mengemuka mungkin karena Putusan Bawaslu lebih awal diputuskan dari putusan MA.


Kewenangan Bawaslu dalam Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu (PSPP) bersifat pasif, hanya diproses ketika ada permohonan penyelesaian sengketa dari peserta dengan ketentuan yang diatur Undang-Undang. Jadi sekalipun dalam perjalanannya, terdapat temuan oleh Bawaslu yang dianggap berpotensi terjadi sengketa tapi tidak ada permohonan dari peserta, maka Bawaslu tidak dapat memproses.


Kehadiran Bawaslu berdasarkan UU Pemilu, dengan adanya kewenangan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu (PSPP) diharapkan dapat berkontribusi dalam mewujudkan pelaksanaan tahapan Pemilu yang jujur dan adil, serta menjamin hak konstitusional semua pihak secara proporsional dan berkeadilan.

Penulis : Kartini Kusuma Putri