Lompat ke isi utama

Berita

PERPPU 2/2020 Dan Masa Depan Pilkada Serentak

PERPPU 2/2020 Dan Masa Depan Pilkada Serentak
Ilustrasi

TANGGAL (4/5) Presiden Jokowi telah menetapkan Perppu 2/2020. Isinya adalah menetapkan pelaksanaan Pilkada serentak akan dilangsungkan pada Desember 2020.

Pertama, Perppu ini menjawab permasalahan atas kesepakatan pemerintah dan Komisi II DPR RI yang pada 14 April 2020 yang menyetujui usulan pemerintah. Kedua, Perppu ini menjawab kekosongan hukum terkait dengan penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 yang sempat ditunda KPU.

Pada (21/3) KPU menetapkan Keputusan No: 179/PL.02-Kpt/01/KPU/111/2020, yang menegaskan bahwa KPU menunda sejumlah tahapan pilkada, tetapi tidak termasuk tahapan pemungutan suara yang terjadwal pada 23 November 2020.


Disusul pada 30 Maret 2020 melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi II DPR RI dengan Kemendagri, KPU, Bawaslu dan DKPP. Komisi II DPR RI meminta pemerintah menyiapkan payung hukum berupa Perppu atas penundaan tersebut.

Menurut Ahsanul Minan, pakar hukum Tata Negara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Perppu merupakan kewenangan Presiden. Peraturan setingkat dengan UU, yang dibuat ketika ada keadaan mendesak dimana dalam situasi itu belum ada aturan yang mengatur dan dapat menjawab permasalahan yang ada.

Ada kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa, karena memakan waktu yang tidak sebentar, bahkan akan berlangsung lama. Sementara kebutuhan legalitas hukum dibutuhkan segera.

Akan tetapi, ada beberapa hal yang perlu dipahami bersama, Pertama, bahwa pada RDP tertanggal 30 Maret 2020 tersebut, Komisi II DPR RI meminta kepada kepala daerah yang akan melaksanakan Pilkada serentak 2020 untuk merelokasikan dana pilkada serentak 2020 yang belum terpakai guna penanganan pandemi Covid-19 didaerahnya masing-masing.

Pertanyaan selanjutnya, apakah pemerintah pusat sudah berkoordinasi dengan pemerintah daerah terkait alokasi dana pilkada di setiap daerah itu? Karena setelah keputusan Komisi II dibacakan, beberapa Gubernur sudah mengarahkan Bupati/Walikota yang ada dibawah koordinasinya untuk bersiap bergerak merelokasi anggaran pilkada untuk penganganan Covid 19.

Dalam kondisi pandemik yang tidak menentu ini, memastikan ketersediaan anggaran di daerah menjadi sangat penting. Karena sepertinya APBN (dengan berbagai macam langkah efisiensi oleh menteri keuangan) tidak mengalokasikan kebutuhan anggaran pilkada 2020.

Kedua, pada UU 10/2016 tentang Pilkada Serentak pasal 201 mengatur masa jabatan hasil pilkada serentak 2020 akan berakhir pada 2024 seiring dengan skema Pilkada serentak nasional. Dalam Perppu 2/2020 ini tidak ada revisi atas pasal tersebut. Maka, masa jabatan Gubernur/Bupati/Walikota beserta para wakilnya akan berakhir pada 2024.

Dari ketentuan ini, hipotesanya adalah, bahwa masa depan Pilkada serentak nasional akan tetap dilaksanakan pada 2024. Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 dan tahun 2023, diangkat penjabat penjabat sampai dengan terpilihnya kepala daerah melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.

Dalam Perppu ini, Pasal 201A pemungutan suara serentak yang ditunda akan dilaksanakan pada Desember 2020. Apabila tidak dapat dilaksanakan, maka akan ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana non alam berakhir melalui mekanisme penetapan Keputusan KPU yang dilakukan dengan persetujuan KPU, Pemerintah dan DPR.

Gubernur/Bupati/Walikota yang akan Pilkada pada 2020 ini terpilih pada desember 2015. Jika ternyata tertunda lagi karena pandemik Covid 19 belum usai, maka langkah seperti apa dari Pemerintah untuk melakukan proses pergantian penjabat Kepala Daerah?

Ini penting untuk dipersiapkan secara matang, untuk mencegah para calon petahana melakukan pelanggaran pilkada. Jika kemudian dilaksanakan pada 2021, apakah kemudian masa jabatan Gubernur/Bupati/Walikota tetap akan berakhir 2024?

Pilkada Serentak Di Tengah Pandemik

Salah satu “catatan hitam” pemilu 2019 adalah banyak penyelenggara pemilu meninggal dunia. Menurut Ketua KPU Arief Budiman, dalam keterangannya di media, ada 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas yang sakit di Pemilu 2019.

Mengapa? Ditengarai karena beban tugas pada pemilu 2019 terlalu berat. Apakah Pilkada serentak 2020 seberat Pemilu? Tentu tidak. Maksimal, di daerah pemilihan yang terdapat pilkada Gubernur dan bupati/walikota, hanya akan mencoblos dua kertas suara. Salah satu manfaatnya adalah proses pengadministrasian hasil penghitungan suara akan lebih simple dari pemilu.

Tetapi, permasalahannya adalah saat Pilkada serentak ini dilaksanakan di tengah pandemik Covid-19. Ada beberapa permasalahan teknis yang mungkin akan terjadi. Pertama, antusiasme publik untuk terlibat menjadi tim penyelenggara teknis di kepanitiaan adhoc akan menurun.

Kedua, partisipasi politik pemilih di TPS dalam memberikan suaranya, yang selama ini menjadi barometer KPU dalam mengukur kesuksesan penyelenggaraan pemilu/pilkada, kemungkinan akan menurun.

Dua hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi KPU. Karena tidak hanya terkait dengan suksesi penyelenggaraan pilkada serentak, tetapi juga terkait dengan legitimasi publik kandidat terpilih.

Di luar dari hal tersebut, ada hal lain yang juga harus menjadi perhatian lebih dari KPU, yaitu keselamatan dan kesehatan publik. Sekalipun pemerintah optimis pandemik Covid 19 ini akan berakhir di Juni 2020, tetapi masih ada kemungkinan gelombang kedua yang belum jelas.

Komnas HAM juga sudah mengingatkan, bahwa KPU sebagai pihak yang paling bertanggung jawab jika dari penyelenggaraan Pilkada serentak ini terjadi perkembangan positif Covid 19 yang luar biasa. Maka, perlu dipikirkan bagaimana pelaksaan Pilkada serantak ini berjalan dengan berkualitas, menjamin hak pilih dan dipilih. Pilkada yang digelar sekaligus menjamin hak kesehatan seluruh pihak yang terkait.

Anggota Bawaslu RI, Afiffuddin dalam diskusi daring yang digelar oleh Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) di Jakarta, pada 15 April 2020 mengatakan, akan memberlakukan protokol kesehatan untuk mencegah penularan covid-19 di TPS. Alasannya, saat pemungutan suara ada perjumpaan fisik.

Afif juga menyebutkan pentingnya SOP bagi pemilih yang baru masuk TPS. Seperti wajib menggunakan masker dan jaga jarak. Selain itu, penyelenggara pemilu harus mengurangi antrean dengan cara mengurangi jumlah pemilih per-TPS di tengah pademi covid-19.

Artinya, jika pelaksanaan Pilkada serentak ini berorientasi kualitas optimal, tidak hanya menunaikan tanggungjawab dan menyelesaikan pelaksanaan prosedural semata, maka beberapa hal yang harus dipastikan ada skema penambahan TPS. Langkah itu untuk meminimalisir antrian pemilih di TPS.

Tentu jika ada jaminan keamanan bagi kesehatan pemilih, kita berharap partisipasi publik tetap tinggi dalam memberikan hak suaranya di TPS. Sejalan dengan itu, juga terkait dengan jaminan kesehatan penyelenggara adhoc, apakah diperlukan APD?

Atau cukup protokol standar dengan menyediakan sabun dan air untuk cuci tangan atau cukup hand sanitizer di TPS. Bagaimana dengan petugas Pantarlih? Yang harus mobile melakukan coklit data pemilih dan verifikasi dukungan calon perseorangan.

Seminim apapun tambahan kelengkapan di TPS, dan perlengkapan untuk menjamin keselamatan kesehatan petugas, pasti akan berdampak pada penambahan kebutuhan anggaran. Lagi-lagi terkait dengan anggaran yang juga sudah disinggung di atas, KPU harus segera berkoordinasi dengan seluruh KPU di daerah untuk memastikan ketersediaan anggaran. Jika sebagian sudah terpakai untuk penganganan Covid 19, harus segera dicarikan solusinya.

Yang lebih berpotensi terjadi penyebaran virus Covid 19 adalah pada tahapan kampanye, KPU juga harus berinovasi dalam membuat peraturan, bagaimana menciptakan proses kampanye agar efektif dan aman dari infeksi virus. Dengan berbagai tantangan yang ada, akankah Pilkada serentak 2020 berjalan dengan aman, efektif dan berkualitas?

Oleh: Munandar Nugraha (Anggota Bawaslu Jaksel)