Lompat ke isi utama

Berita

QUOVADIS PENEGAKAN HUKUM PEMILU?

QUOVADIS PENEGAKAN HUKUM PEMILU?

Munandar Nugraha (Anggota Bawaslu Jakarta Selatan*)

Selamat datang 2021. Sepertinya tahun ini akan menjadi tahun politik hukum/hukum politik dalam revisi UU Pemilu terkait dengan isu-isu perkembangan demokrasi terkini. Sudah banyak statement para anggota DPR RI di Komisi II, bahwa UU Pemilu akan direvisi dan ditargetkan selesai tahun 2021. Terkhusus untuk merespon putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 55/PUU-XVII/2019 tentang desain keserentakan pemilu.

Apa isu penting revisi UU Pemilu? Dari pemberitaan media, menurut Ketua Komisi II DPR RI Doli Kurnia, ada lima isu klasik yang meliputi, sistem pemilu (terbuka, tertutup, campuran), ambang batas parlemen atau parliamentary threshold, presidential threshold, sistem konversi penghitungan suara ke kursi, serta district magnitude jumlah besaran kursi /dapil.

Selanjutnya, ada empat isu kontemporer, pertama, konsep keserentakan pemilu nasional dan pemilu daerah. Kedua, bagaimana mendorong pemilu bersih menghilangkan/meminimalkan money politics dan politik transaksional. Ketiga, pengembangan digitalisasi pemilu, soal e-rekap KPU. Keempat, penguatan tugas dan fungsi penyelenggara pemilu, terutama terkait kewenangan menangani pelanggaran-pelanggaran pemilu dan mendorong lahirnya peradilan khusus pemilu.

Dari kesembilan isu tersebut, ada yang tidak kalah penting untuk menjadi fokus revisi UU Pemilu, yaitu merancang skema penegakan hukum pemilu yang terintegrasi.

Ragam Ruang Penyelesaian Hukum Pemilu

Berdasarkan UU No 7/2017, penegakkan hukum pemilu terbagi menjadi enam ruang. Pertama, penindakan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Kedua, penindakan dugaan pelanggaran pidana pemilu. Ketiga, penindakan dugaan pelanggaran administrasi pemilu. Keempat, PTUN pasca putusan Bawaslu. Kelima, penindakan pelanggaran terstruktur, sistematis dan massif (TSM). Keenam, penyelesaian perselisihan hasil pemilu.

Dalam diskusi “Rancang Bangun Skema Penegakan Hukum Pemilu Menuju Keadilan Pemilu” Bawaslu Jakarta Selatan pada 15 Juli 2020, Ahsanul Minan, pakar tata negara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia menyatakan bahwa, “terlalu banyak ruang dalam penyelesaian sengketa dan penegakan hukum pemilu, sehingga terkadang putusannya sulit untuk dieksekusi. Atau penanganan penegakan hukumnya menjadi tidak tuntas”.

Apa saja ruang penyelesaian hukum pemilu itu? Diantaranya adalah:

1. Penindakan dugaan pelanggaran kode etik.

UU Pemilu menegaskan bahwa putusan DKPP bersifat final dan mengikat. Contoh terhangat, putusan DKPP tentang pemecatan anggota KPU, Evi Novita Ginting Manik (ENGM). Berdasarkan putusan DKPP itu kemudian Presiden melakukan pemecatan dengan mengeluarkan Keppres. Lalu Keppres itu di PTUN kan dan dimenangkan oleh ENGM, lalu Keppres pemecatan tersebut dicabut Presiden. Menurut Prof. Jimly, saat diskusi daring dengan KPU Jakarta Barat, 18 Agustus 2020, “tidak nyambung putusan etik digugat melalui putusan yang sifatnya administratif (PTUN).

Maka dapat dipastikan bahwa putusan itu tidak dapat dieksekusi. Tidak akan merubah putusan DKPP atas pemecatan tersebut”. Akan tetapi, berdasarkan pencabutan Keppres pemecatan ENGM, Ketua KPU Arif Budiman dengan surat ketua KPU mengaktifkan kembali ENGM sebagai Anggota KPU. Sementara dalam UU Pemilu, pasal 458 ayat 14, Penyelenggara Pemilu wajib melaksanakan putusan DKPP. Pertanyaannya, apakah Ketua KPU berwenang mengaktifkan kembali anggota yang telah dipecat DKPP?

2. Penindakan pelanggaran pidana pemilu.

UU Pemilu mengatur tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Gakkumdu terdiri dari Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan. Sifatnya adhoc, dibentuk menjelang pemilu dan berakhir masa tugasnya ketika pemilu selesai.

Gakkumdu terstruktur dari pusat hingga kabupaten/kota. Gakkumdu diatur di Peraturan Bawaslu Nomor 31 Tahun 2018, dalam penindakan pidana pemilu, ada pembahasan pertama, pembahasan kedua, pembahasan ketiga, dan pembahasan keempat. Bawaslu merupakan leading sector atas pembahasan pertama dan kedua, didampingi oleh Kepolisian dan Kejaksaan.

Semangatnya, Gakkumdu adalah semacam mekanisme “menyatukan persepsi” untuk memastikan penindakan pelanggaran pidana pemilu. Dalam prakteknya, Gakkumdu dianggap kurang efektif. Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraeni (dalam keterangan di media, 27/4/19) menilai, Gakkumdu hanya memperpanjang birokrasi penegakan hukum pemilu.

Pemilu selanjutnya sebaiknya Gakkumdu ditiadakan, tanggung jawab masing-masing lembaga dikembalikan sesuai dengan porsinya. Jadi, ketika Bawaslu menyatakan suatu laporan memenuhi unsur pidana, maka diteruskan kepada kepolisian, dan kalau kepolisian menyatakan tidak memenuhi unsur, maka kepolisian yang menghentikan.

Saat ini, dengan mekanisme Gakkumdu, polisi menyatakan tidak memenuhi unsur dalam forum Gakkumdu. Sementara, yang bertanggungjawab menjelaskan itu kepada publik adalah Bawaslu. Sehingga, Bawaslu harus membuka hasil pleno tentang suatu laporan/temuan yang dianggap telah memenuhi unsur pidana, yang tidak ditindaklanjuti Gakkumdu.

Sementara itu, Anggota Bawaslu RI, Ratna Dewi Petalolo (RDP) saat diskusi NcangWaslu Bawaslu DKI Jakarta, 11 Agustus 2020, menegaskan bahwa, “Gakkumdu harus diperkuat agar penanganan pelanggaran pidana pemilu bisa lebih efektif. Proses klarifikasi di Gakkumdu memang bisa dimentahkan dalam proses BAP oleh Kepolisian.

Makanya tidak heran jika kemudian ada ide, agar penanganan ini diserahkan kepada kepolisian saja. Ini pemahaman yang keliru. Justru, penguatan Gakkumdu harus dilakukan, bahwa proses klarifikasi di Gakkumdu haruslah pula dimaknai sama dengan proses BAP”.

Lebih lanjut RDP menjelaskan, “ketika Gakkumdu dihapuskan, kemudian proses penanganan pelanggaran diserahkan kepada Kepolisian dan Kejaksaan, ini akan memunculkan problem lain, karena sesungguhnya kemandirian dalam proses penegakan hukum pemilu dijamin dalam Pasal 22E ayat 5 UUD.

Bawaslu secara tegas didalam UU 7/2017 diberikan kewenangan untuk menerima dan menindaklanjuti laporan. Artinya, jika penanganan pelanggaran ini dilepaskan kepada lembaga lain, berarti sudah terjadi pelanggaran terhadap UUD. Karena konstitusi tidak memberikan kewenangan kepada lembaga lain, kewenangan atribusi untuk melakukan penanganan pelanggaran itu ada di Bawaslu.

Jadi, Pendekatan Konstitusi dan pendekatan teknis penanganan pelanggaran yang sudah dilakukan Bawaslu menjadi sangat penting dalam mengawal perubahan UU Pemilu kedepan”.

3. Penindakan pelanggaran administrasi.

UU Pemilu menegaskan bahwa putusan Bawaslu bersifat final dan mengikat, kecuali yang berkaitan dengan verifikasi parpol peserta pemilu, penetapan daftar calon tetap (DCT) DPR, DPD, DPRD dan penetapan Pasangan Calon. Penetapan daftar calon sementara (DCS) adalah yang di kecualikan.

Pada pemilu 2019, ada PKPU No 20/2018 yang melarang mantan terpidana korupsi, terpidana bandar narkoba dan terpidana kejahatan seksual terhadap anak untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPD dan DPRD.

Tidak sedikit bakal calon legislatif yang terganjal PKPU ini, akibatnya banyak Keputusan KPU tentang penetapan DCS digugat ke Bawaslu. Tidak selesai pada ruang mediasi, berujung di adjudikasi. Putusan Bawaslu Provinsi dan kab/kota memenangkan para pemohon, tetapi putusan itu tidak langsung ditindaklanjuti KPU.

Mengapa? Karena PKPU tersebut sedang proses judicial review di MA. Setelah putusan MA menyatakan PKPU tidak sesuai dengan UU, baru KPU menindak lanjuti. Padahal, Pasal 462 menegaskan, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kab/Kota wajib menindaklanjuti putusan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kab/Kota paling lama tiga hari kerja sejak putusan dibacakan. Sepertinya hal ini masih dapat ditolelir karena memang ada proses judicial review di MA.

Tugas dan wewenang Bawaslu dalam mengawasi tahapan pemilu, melakukan pencegahan dan penindakan pelanggaran pemilu, disertai dengan kewenangan melakukan adjudikasi, menjadikan Bawaslu layaknya “lembaga super body”. Berwenang untuk mengawasi, menindak dan menghakimi.

Tidak sedikit publik yang mempertanyakan hal ini. Terlebih, kewenangan Bawaslu dalam melaksanakan fungsi adjudikasi (quasi peradilan), tidak ada yang mengontrol. Pada lembaga peradilan, ada Komisi Judicial yang mengontrol. kemudian, putusan adjudikasi wajib ditindaklanjuti KPU, bersifat final dan mengikat. Tahukah anda? Kewenangan ini berlaku berjenjang, dari Bawaslu RI, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kab/Kota.

Menurut Ahsanul Minan, “kewenangan Bawaslu, terkait dengan cara pandang legal policy pembentuk UU. Sepertinya, mereka masih berpandangan, satu lembaga bisa memiliki kewenangan pengawasan dan penanganan sengketa/pelanggaran.

Karena tidak hanya Bawaslu yang berwenang mengawasi dan memutus sengketa/pelanggaran, ada Ombudsman, ada Komisi Informasi Publik terkait dengan sengketa informasi. Ada Komisi Penyiaran Indonesia. Ada Komisi Pengawas Persaingan Usaha, semuanya memiliki kewenangan mengawasi dan melakukan penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa”.

Ketua KoDe inisiatif Veri Junaidi, memberi pandangan yang konstuktif. Menurutnya, “kewenangan penanganan pelanggaran administrasi oleh Bawaslu harus tetap ada, akan tetapi sebaiknya hanya diberikan kepada Bawaslu ditingkat RI dan Provinsi. Sementara Bawaslu ditingkat Kab/kota fokus pada kewenangan untuk mengawasi”. Hal ini disampaikannya pada Deseminasi Penegakan hukum Pemilu yang dilaksanakan oleh Bawaslu DKI Jakarta, 7 November 2020.

Dengan usulan ini, proses adjudikasi dapat dilakukan oleh struktur diatasnya. Bawaslu Provinsi menangani sengketa ditingkat kab/kota, Bawaslu RI menangani sengketa ditingkat provinsi dan RI. Dengan demikian KPU dan Bawaslu tidak langsung berhadapan dalam jenjang yang setara yang berpotensi mendorong “konflik kepentingan” dan ego sektoral.

4. PTUN Pasca Putusan Bawaslu.

Pasal 469 UU menegaskan, Putusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses pemilu bersilat final dan mengikat, kecuali penetapan DCT anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Jika putusan Bawaslu tidak diterima oleh para pihak, para pihak dapat mengajukan upaya hukum kepada PTUN.

Lain hal dengan PKPU No 26/2018 yang mengacu kepada Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018, melarang pengurus partai politik menjadi calon anggota DPD. Kasus Oesman Sapta Odang (OSO), petahana Ketua DPD yang mau mencalonkan kembali, tetapi menjabat sebagai ketua umum partai Hanura. OSO terganjal, memohonkan penyelesaian sengketa proses ke Bawaslu. Bawaslu menolak permohonan OSO terkait namanya dicoret dari DCT oleh KPU.

Kemudian, OSO menguji materi PKPU ke MA. Pada 7 November 2018 keluar Putusan MA nomor 65P/HUM/2018, menyatakan PKPU 26/2018 tak dapat digunakan. Bahwa, pasal 60 A dalam PKPU ini bertentangan dengan Pasal 5 huruf d dan Pasal 6 ayat 1 huruf I UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

OSO juga mengajukan gugatan ke PTUN terkait namanya yang hilang pada DCT. Kemudian, pada 14 November 2018 PTUN juga membatalkan Keputusan KPU dan memerintahkan tergugat (KPU) untuk menerbitkan keputusan Tentang Penetapan DCT yang mencantumkan nama penggugat (OSO).

Selanjutnya, 22 Januari 2019 Ketua PTUN Jakarta, Ujang Abdullah mengirim surat perintah pelaksanaan putusan PTUN Jakarta Nomor 242/G/SPPU/2018/PTUN-JKT kepada KPU. UU Pemilu pasal 471 ayat (7 dan 8) menegaskan, Putusan PTUN bersifat final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain. KPU wajib menindaklanjuti putusan PTUN paling lama tiga hari kerja. KPU tetap bergeming tidak menindaklanjuti putusan MA dan PTUN.

5. Mahkamah Agung (MA).

Dalam hal terjadi pelanggaran administratif Pemilu yang terjadi secara TSM, Calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi&kab/kota, dan Pasangan Calon yang dikenai sanksi pembatalan sebagai calon, dapat mengajukan upaya hukum ke MA. Jika putusan MA membatalkan keputusan KPU, KPU wajib menetapkan kembali pencalonan tersebut. Putusan MA bersifat final dan mengikat.

6. Penyelesaian perselisihan hasil pemilu oleh MK.

Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Presiden/Wakil Presiden secara nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu dan mempengaruhi penetapan hasil Pemilu Presiden/Wakil Presiden. MK menjadi pengadilan pertama dan terakhir terkait dengan penyelesaian perselisihan hasil pemilu.

Bagaimana jika terjadi perselisihan hasil pilkada?

Perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh MK sampai dibentuknya badan peradilan khusus. Putusan MK bersifat final dan mengikat. UU No 10/2016 tentang Pilkada mengamanahkan badan peradilan khusus dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional, agar perkara perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus.

Kedepan, Badan Peradilan Khusus ini berpotensi menjadi ruang ketujuh dalam skema penegakan hukum pemilu. Seperti apa konsepnya? Wacana dari Anggota Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin dalam laman berita hukum online, menjelaskan, “ada empat hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, badan peradilan khusus (BPK) harus berada di bawah MA. Sesuai Pasal 27 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kedua, BPK hanya menangani perkara perselisihan hasil pilkada saja. Ketiga, BPK merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir. Keempat, BPK berkedudukan di ibukota provinsi. Pembentukan BPK ini perlu persiapan matang, karena terkait dengan kesiapan perangkat aturan, personil hakim dan pegawainya yang menguasai ilmu kepemiluan, prasarana dan sarana, serta anggaran”.

Banyaknya ruang penegakan hukum pemilu berpotensi menghilangkan kepastian hukum dan penegakan keadilan pemilu, harus dicarikan solusinya. Negeri ini butuh skema politik hukum pemilu yang mengintegrasikan penyelesaian masalahan hukum pemilu.

Kita butuh peradilan khusus pemilu yang tidak hanya sebagai ruang penyelesaian perselisihan hasil pilkada saja, tetapi juga menjadi ruang peradilan penegakan hukum pemilu yang terintegrasi. Semoga ini dapat menjadi isu kesepuluh yang juga diperhatikan oleh para pembuat UU.

Bahwa pemilu tidak hanya tentang memilih dan terpilih, tetapi juga tentang bagaimana pemilihan dan keterpilihan itu berjalan sesuai dengan peraturan, sehingga keadilan pemilu dapat terwujud.

Artikel ini telah diterbitkan juga pada: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ffd09c3e83a6/quo-vadis-penegakan-hukum-pemilu-oleh--munandar-nugraha?page=all/